Jumat, 03 Januari 2020

Menyangsikan Kesungguhan Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan (I,II,II)

Mempertanyakan cara penulisan Alur Alun Tanjidor, A.H. J Khuzaini
Nurel Javissyarqi *

I
Sebelum tanggal 12 Desember 2019, pria kelahiran Gresik yang kini menjadi warga Lamongan, A.H. J Khuzaini S.Hum., M. Pd. (Djennar), mendapat penghargaan atas buku terbarunya. Semalamnya, saya sudah peroleh beberapa lembar foto isi bukunya “Alur Alun Tanjidor” (AAT) yang dikirimkan Rakai. Sastrawan asli Gresik, Rakai Lukman, kurang-lebih menganggap penulis awalnya berupa hasil skripsi, menjadi sederajat asisten saja. Maka, sejauh apakah keterlibatan Djennar atas skripsinya Immaroh?

Djennar, setelah saya tag lewat paragraf (status fb) di atas, berkomentar: “Tinggal nunggu waktu diberi kesempatan saja sih. Ass itu. Asal Skripsi. Roudlotul Immaroh juga undanglah.” Jadi, istilah Ass bukanlah dimaksud asisten, tetapi “Asal Skripsi,” sembari membandingkan singkatan lain pada komentarnya berikut: “PBB. Perserikatan bangsa-bangsa. Partai bulan bintang. Persiapan baris berbaris. Hahah.” Sholihul Huda menanggapi dengan komentar: “Sekarang berbicara tentang istilah Ass, pembelaan saudara Djenar yg mengatakan Ass tersebut singkatan dari Asal Skripsi, hanya mengada-ada dari upaya membela diri, karena terdesak (alibi apapun yg dia katakan saya tidak percaya). Pada salah satu kesempatan di warkop pasar, karanggeneng (menjelang saya pulang ke Blora pada Bulan Juli 2019), mengatakan kepada saya bahwa asistennya adalah orang yang namanya tercantum dalam skripsi di atas, jadi Ass itu saya pertegas singkatan dari asisten (ada niat dibalik penggunaan kata singkatan ini, tujuannya memang agar pembaca menganggap itu singkatan dari asisten, untuk menjaga wibawa) salam tabik.”

Sebelum merantak jauh, saya anggap kegiatan yang dilakoni Djennar merupakan langkah terindah, kalau tak boleh dibilang perbuatan mulia. Karena tengah menyelamatkan hasil penelitian seseorang, dengan ditampilkannya berupa buku yang dapat dinikmati masyarakat lebih luas. Kita tahu, banyaklah prodak penelitian; apakah skripsi, tesis, disertasi, dan karya ilmiah lain yang ujung takdirnya mengenaskan sebagai barang kertas kiloan, meski ada sebagian diselamatkan pasar dan atau toko buku loak (bekas/murah). Namun, apakah yang dijalani Djennar termasuk jenis perbuatan menyerupai perangai menjiplak? Dan penulis pertama berkedudukan sebagai asisten? Apakah tidak terbalik, Djennar berkedudukan asisten daripada penulis skripsinya? Dalam salah komentar, Djennar mengatakan: “Artinya buku ini ditulis dua orang. Tapi nggak tau, kok saya yang dipanggil Perpustakaan Daerah.” M. Lutfi menanggapi: “Alhamdulillah, Kak Djenar dapat penghargaan atas kesabarannya nggarap buku hasil penelitian Skripsi.” Djennar dengan kerendahan hati ganjil menjawab: “Cuma ikut meluaskan hasil penelitiannya. Penulisannya bagus. Sayang, kalau tidak disebarluaskan melalui buku. Penghargaan mungkin bonus.” Di sini bukan mempersoalan siapa yang peroleh penghargaan. Namun, pencantuman nama penulis skripsi tertera Ass, itulah yang diperbincangkan.

Kita patut hargai perjuangan Djennar menjelmakan skripsi dijadikannya buku, tengok dua komentarnya berikut: 1. “Yang sungguh benar membantu ialah pegiat tanjidor itu sendiri. Setelah seniman memahami niat saya. Dia menyuruh saya menginap. Ada persoalan lain yang sebenarnya pingin saya utarakan terkait bagaimana buku ini ditulis. Tapi rasanya kurang elok di kolom komentar ini.” 2. “Judule opo ya. Antara skripsi bagus yang sayang gak disebarluaskan jadi buku. Antara pesanan perpustakaan daerah yang butuh dokumentasi kearifan lokal dan memberi uang lelah 1 juta rupiah.. Meski jauh dari kata cukup. Saya habis lebih dari 5 juta. Antara saya yang menganggap kesenian tanjidor sungguh hebat. Embuh man.”

II
Karena belum pegang bukunya, maka masih berupa potongan paragraf dari pepecahan komentar Djennar di status fb. Ada karya yang mulanya berangkat dari skripsi, lalu ditangan orang lain disulap menjelma novel atas nama novelisnya, ada yang berupa catatan sejarah dirombak jadi kisah penuh filosofis, ada pula yang digalinya lewat pengetahuan psikologi, dan pelbagai ragamnya. Kita mengetahui kisah Faust lebih tenar oleh Goethe, padahal riwayat tokoh protagonis dari legenda Jerman klasik tersebut berdasarkan tokoh sejarah Johann Georg Faust (1480–1540). Dan lakon Faust telah menjelma dasar-dasar keilmuan; karya susastra, artistik, sinematik, musikal; prosa, sandiwara, opera, ballet, film, musik klasik dan rupa-rupa lukisan. Di Indonesia, Hikayat Malin Kundang telah menjadi daya kreativitas para pengarang, ada yang dirupai landasan pemikiran filosofis, dileburnya dalam puisi, pula ditulis ulang oleh banyak sastrawan. Demikian juga perjuangan Pangeran Diponegoro, selain sang pahlawan mencatatnya sendiri riwayatnya berupa Babat, banyak jua terhayut menulis sejarahnya berupa novel, puisi, hingga seni rupa. Ini barangkali watak insan selalu belajar dalam kehidupannya, menyerapi segenap kandungan luhur temuan para leluhur demi tegaknya nilai kemanusiaan, makna kata bagi penjaga ingatan jaman dalam melawan virus lupa atau kesilapan. Hanya yang patut diperhatikan, bagaimana sikap pengarang penghadapi kisah, riwayat, karya seseorang, atau mendudukkan dirinya secara layak penuh pekerti, agar tidak timbul anggapan kurang baik, atau bisa mengurangi mentalitas kejujurannya dalam berkarya.

Sebab belum baca bukunya pula, kemarin saya bertanya kepada Rakai; “Apakah bahan yang diambil dari skripsi, masuk di satu bab buku ataukah keseluruhan?” Makanya, saya bersikeras meminta segera difotokan covernya, dan seperti ungkapan Rakai; buku “Alur Alun Tanjidor di Desa Lembor – Brondong - Lamongan (1952-2019),” berawal dari hasil skripsi yang berjudul “Sejarah Perkembangan Kesenian Tanjidor di Desa Lembor, Brondong, Lamongan, Jawa Timur,” yang dikeluarkan Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya tahun 2017, atas nama Roudlotul Immaroh, Nim: A02213085. Djennar pun mengunggah lampiran foto isi buku, sambil berkomentar: “Artinya buku ini ditulis 2 orang kan Cak Sholihul Huda? Atau ada pendapat lain.” Di lembaran itu tertanda A.H Jenar Khuzaini, dibawanya (ass) Roudlotul Immaroh. Di sini cukup terbukalah bersikap, meskipun menaruh penulis pertama sebagai asisten (ass), yang bagi Djennar, istilah Ass bukanlah asisten, tapi “asal skripsi,” atau pada mulanya dari skripsi. Ini dapat dimaklumi, lantaran juga meneruskan penelitian itu dengan menemui para seniman tanjidor, sejenis mendata ulang yang dibaca, demi peroleh gambaran mendalam, mencari kabar terbaru dari tenggang waktu, tahun 2017 ke 2019.

Dan tekat yang dilayarinya mengambil bola atas pesanan Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan yang membutuhkan dokumentasi kearifan lokal dengan memberikan uang lelah 1 Juta Rupiah, yang dirasanya tidak cukup, sebab penelitiannya menghabiskan 5 Juta Rupiah lebih. Mungkin, yang terbersit di batinnya keinginan kuat mengabarkan pada khalayak umum, bahwa seni tanjidor juga bertumbuh di Lamongan (LA). Memang, saya pernah dengar adanya anggaran penulisan buku berupa dokumentasi khazanah kearifan lokal, dan soal kesanggupan Perpusda membeli 10 eksemplar buku setiap judulnya, seperti buku-buku lain yang terlahir dari para penulis LA. Ini timbul lantaran usulan saya saat Temu Penulis LA pertama, agar tidak hanya membeli buku terbitan luar saja, yang mulanya ditanggapi berasa keberatan dengan alasan keterbatasan anggaran. Dan saya tidak tahu persis jumlah buku yang sudah dibeli Perpusda atas karya putra-putri daerahnya, yang dimulai sekitar pertengahan tahun 2019.

III
Temu Penulis Lamongan Tahun 2018, itulah judul pertemuan para penulis awal yang saya ikuti, hari Rabo 18 Juli 2018 di Aula Cendekia, Dinas Perpustakaan Daerah LA, dengan mantab menghadirkan pembicara Mustakim, SS. M.SI. Waktu itu, pemateri mendongeng kesuksesan dirinya menjadi penulis sampai mampu beli rumah, mobil, dan entah apalagi. Tentu atas kebesarannya, kan peroleh pesangon berjuta-juta, logikanya begitu. Atau bisa jadi tak mau terima bayaran, lantaran berjihad menularkan keberhasilannya kepada para hadirin, sekitar 50 penulis yang datang. Dalam acara tersebut, setiap peserta peroleh uang jalan Rp. 100.000,- . Pada kesempatan itu pula, pihak Perpusda kisahkan beberapa jumlah anggarannya, tapi informasinya terkira ada keganjilan, makanya sepulang acara, saya membikin catatan di status fb. Namun terhenti setelah ngopi bareng di sudut kota bersama Alang, Herry, Syarif, Zehan, dan entah siapa lagi saya belum akrab, tertanggal 23 Juli 2018, intinya memberikan saran, agar tidak membuka kemungkinan buruk dari dalam, dan adanya upaya halus tidak bersikap keras demi kelanggengan arus literasi dengan dinas terkait. Karena penasaran, saya berjalan menuju pelukis Jumartono ditemani Zehan, setelah agak reda, pulanglah sambil membaca lagi corak peta karakter berkesenian di LA. Di waktu kesempatan lain, bersama Rodli TL berkunjung ke Perpusda untuk menawarkan acara bedah buku saya MMKI, barangkali rupa terhanyut gula-gula manis pemakaian gedung tanpa pungutan biaya. Namun, tanggal bulan yang sudah disepakati, diganti kegiatan lain tanpa pemberitahuan lebih dulu, mungkin penggantinya dari penulis yang sudah kaliber Nasional, dibandingkan saya.

Temu Penulis LA pertama membahas kemungkinan dihadirkannya wesbsite, di samping menentukan nama forum. Maka, ketika Temu Penulis LA ke 2 hari Rabu 31 Oktober 2018, melaunching Program Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) di tempat yang sama. Saya tidak hadiri di events tersebut, mungkin ada kegiatan lain yang sulit ditinggalkan, atau kecewa, sebab acara yang telah terjadwal gagal begitu mudah tanpa pekabaran, pun bisa jadi malu, seolah mengambil uang jalan semata. Menurut kabar dari Kanalindonesia.com, jumlah pesertanya 40 penulis. Di jalur whatsapp, Perpusda pernah membuat grup khusus para penulis LA, dan saya menyinggung gagalnya acara saya hingga grup WA sepi, lalu di hari lain Alang membuat grup WA FP2L, tapi tak lama kemudian saya keluar. Jadi, pekabaran temu penulis berlanjut terperolah dari facebook juga website, dikarena rajin memposting tulisan pula kegiatan kesusastraan di Lamongan serta kota-kota lain untuk mengisi blog-blog saya kelola. Temu Penulis Lamongan III (saya tuliskan berangka Romawi sesuai pamfletnya, yang berarti tidak sama dengan sebelumnya, bertulis angka 2), Kamis 25 April 2019. Di bannernya terpampang beberapa wajah penulis LA, rupa saya pun ada, tapi tak bisa datang oleh benturan kegiatan lain. Namun, bagi para penggerak dunia tulis-menulis pastilah tahu bukan sebab itu. Temu Penulis Lamongan IV, hari Kamis 12 Desember 2018, saya tak hendak datang juga, yang diantara kegiatannya memberikan penghargaan pada buku Alur Alun Tanjidor. Ke empat kali acara tersebut dilangsungkan di tempat yang sama, semacam ‘seng nduwe gawe’ Perpusda LA.

IV
Saya sudah pegang bukunya, tapi belum baca, apalagi mengkroscek skripsinya, belum. Namun secara sepintas dari obrolan bersama Djennar serta tampilan bukunya, ianya masih melakukan tindakan terbuka, misalkan tertera profil penulis dua orang, Djennar dan Immaroh. Hanya, yang dipersoalkan Rakai salah-satunya di hlm XV, yang seyognyanya tertulis tahun 1952-2017 keterangan skripsinya, bukannya 1952-2019, yang ini bisa ditafsirkan pelbagai macam. Ialah data penelitian yang bersangkutan hitungan waktu, jika mengsle sedikit tentu bisa fatal, yang dapat menghancurkan bangunan telah tersusun. Di situlah pentingnya kehati-hatian, baca berulang tidak mungkin dituntut cepat, seperti keinginan Rego S. Ilalang (Agus R. Subagyo) berharap segera rampung yang tengah saya kerjakan. Hampir diri ini dalam pola penulisan esai selamban mencipta puisi, contoh tulisan untuk Tengsoe sudah setahun lebih belum tuntas, padahal tinggal selangkah dan bukan termasuk kritik. Lamanya itu menimbang pelbagai kemungkinan sebelum dituliskan, menyingkap kabut masa lalu serta bayangan ke depan; efek, embas, atau menentukan kuda-kuda sebelum berhadap-hadapan adalah lahirnya teks ‘sedurung’ dipersaksikan. Di sini, saya kan tulis perjalanan ke Lembor dua hari lalu terlebih dulu:

Awalnya tiada niat ke sana, hanya hari itu ingin berjalan sekeluarga ke arah utara sampai pantai, sekadar ingin melihat pemandangan lepas bertemuanya laut - birunya langit. Di setiap perjalanan, ingatan selalu muncul; dari Dusun Pilang Tejoasri ke selatan dulu lalui Kawistolegi, lalu ke barat melewati tugu penanda gugurnya para pahlawan Perang Kemerdekaan (Agresi Militer II) tahun 1949, yang terletak di sisi selatan perempatan jalan menghubungkan beberapa desa sekitarnya. Ke selatan Desa Gumantuk, ke barat Maduran, dan Dempel (Desa Pangean), ke timur Kecamatan Karanggeneng, ke utara Pegendingan, dan Pringgoboyo. Tugu tersebut masuk wilayah Gumantuk, yang menyematkan beberapa nama; Soewoko (Kadet TNI), Widodo (Kopral TNI), Soekaeri (Kopral TNI), dan Lasiban (Kopral TNI). Patung Kadet Soewoko sendiri berdiri tegak di kota LA. Nama Desa Pringgoboyo, mengingatkan kisah Joko Tingkir, sang pendiri kerajaan Pajang mengarungi Bengawan Solo menggunakan rakit bertemu 40 ekor buaya, yang sebelumnya bertarung untuk dapat ditaklukkan. Lalu buaya-buaya tersebut mendampingi Mas Karebet dari hulu ke hilir Bengawan menuju Demak. Berikut ini petikan tembang Macapat Jawa Sigra Milir yang sudah umum terdengar di masyarakat: Sigra milir kang gethek sinangga bajul // kawan dasa kang njageni // ing ngarsa miwah ing pungkur // tanapi ing kanan kering // sang gethek lampahnya alon. Maknanya: Mengalirlah segera sang rakit didorong buaya // empat puluh penjaganya // di depan juga di belakang // tak lupa di kanan kiri // sang rakit pun meluncur pelan.

Kami terus ke utara lewati Kelurahan Blimbing, ini mengingatkan tahun 2004 - 2006, tempat langganan nyablon cover buku-buku stensilan saya yang pernah dikupas Indrian Koto. Tentu terkenang novelnya Hamka “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck,” sambil menuju barat Sedayu Lawas ke arah Pambon, berbelok kiri ke Lembor, tanah lahirnya novelis Mahfud Ikhwan, tepat Djennar meneliti tanjidor. Sepulangnya, saya sempatkan menjumpai kawan lama sewaktu di Jogjakarta, namanya Ranung, mahasiswa UMY angkatan 1995 dari Desa Dadapan, daerah tumbuhnya cerita rakyat Mbok Rondo Dadapan bersama putranya Ande-ande Lumut. Demikian suluran tembangnya yang terkenal:
Putraku Si Ande, Ande-ande Lumut // Temuruno, ono Putri kang unggah-unggahi // Putrine Ngger, kang ayu rupane // Klenthing Ijo iku kang dadi asmane // Duh Ibu, kulo dereng purun // Duh Ibu, kulo boten medun // Nadyan ayu, sisane Si Yuyu Kangkang.
Putraku Si Ande, Ande-ande Lumut // Temuruno, ono Putri kang unggah-unggahi // Putrine Ngger, kang ayu rupane // Klenthing Abang iku kang dadi asmane // Duh Ibu, kulo dereng purun // Duh Ibu, kulo boten medun // Nadyan ayu, sisane Si Yuyu Kangkang.
Putraku Si Ande, Ande-ande Lumut // Temuruno, ono Putri kang unggah-unggahi // Putrine Ngger, kang olo rupane // Klenthing Kuning iku kang dadi asmane // Duh Ibu, kulo inggih purun // Duh Ibu, kulo badhe medun // Nadyan olo, meniko kang Putri Sulung.

Musim kemarau panjang mengingatkan istilah Ketigo Landong di Gunung Kidul, pohon-pohon jati kering meranggas, masuk keluar hutan kadang susuri jalanan yang di kanan-kirinya pesawahan gersang, dan ketika roda kendaraan di Jalan Daendels, bersiaplah mata tertuju arah utara memandangi pantai melihat kejauhan gelombang. Sebelum masuk Lembor, melalui jalan berliku turunan curam, melintasi lereng hingga di kaki pebukitan Rahtawu yang bersimpan legenda pula atas namanya. Sekilas mata menyaksikan, rumah penduduk, bangunan sekolah, ada keterikatan guyub-rukun pemeluk organisasi keagamaan NU (Nahdlatul Ulama) dengan MD (Muhammadiyah); di sini para seniman tanjidor yang biasanya hanya dilestarikan warga NU, dirawat bersama warga MD. Buku AAT dikerjakan Djennar atas pijakan skripsinya Immaroh, dimulai selepas Temu Penulis LA ke 2, bulan Oktober 2018 sampai Agustus 2019. Meski tidak ketat menerus penggarapannya, seakan olah pikir rasa cukup berat; beberapa kali mencari data baru, wawancara, tentunya sudah akrab jalan dilalui, jalur terjal jalanan berliku. Melampaui musim-musim berganti, terik mentari, mendung menebal, pebekalan menipis, perut letih hingga menginap. Di balik itu, pada malam-malam melarut, siang suwong, lewati kehati-hatian memindahkan karya ilmiah menjadi tulisan enak dibaca; menambahkan berita, dan mengurangi sekiranya lebih nyaman dihidangkan. Djennar melakoni sampai ambang putusasa; bahan yang seolah sulit direkatkan, dibiarkan dalam tempo lama, lalu dilonggar waktu dibacanya lagi, masih belum temukan formula menjelma buku utuh. Namun tetap dirawatnya dengan kesabaran rupawan, harapannya seni tanjidor tersiar berkembang jauh tidak sekadar warisan mudah terlupakan jaman. Ketika dalam keadaan ciut nyali, dicarinya informasi ke Ujungpangka, Gresik, lalu peroleh kabar yang membuatnya girang menuntaskan yang sudah digumulinya berbulan-bulan hampir setahun, dan purnalah buku yang diimpikannya, mungkin.

September 2019, buku AAT diterbitkan Dinas Perpustakaan Daerah Kabupaten Lamongan dengan dicetak sejumlah 60 eksemplar (eks). Djennar peroleh uang lelah (istilahlah begitu, bukan dana penelitian) dari Perpusda 1 Juta Rupiah, dan 1 eks bukunya, jadi tidak bisa memberikan buku untuk Immaroh. Dikarena ingin memiliki hasil kerjanya lebih dari satu eks, maka uang satu juta tersebut dipakainya cetak ulang 60 eks lewat Penerbit Russa; 22 eks dihadiahkan kepada penduduk Lembor, sisanya dibagikan ke kawan-kawan, sanggar, sekolah, dan sebagian dijual. Bulan berikutnya, ada seorang tokoh memberikan uang untuk cetak AAT, dicetaklah 60 eks lagi (cetakan I, II, dan III, keterangan cetaknya sama pertama, hanya yang ketiga ada pengantar tokoh itu). Di akhir tahun Temu Penulis LA IV, Djennar peroleh Piagam Penghargaan dari Dinas Perpusda Kab. LA atas partisipasinya menulis buku Alur Alun Tanjidor, bernomor: 041/438.3/413.121/2019., dan perolah 1 eks buku, sehingga bisa memberikan kepada Immaroh, buku terbitan Perpusda LA. Kata Djennar, tidak hanya dirinya yang dapat piagam penghargaan, barangkali penulis lain melakukan semacamnya menjadi buku dipersembahkan ke Perpusda. Di waktu lain, Djennar bercakap-cakap dengan salah satu pegawai Perpusda, kurang-lebih menganggap dana beristilah uang lelah, tidak cukup kurang layak jikalau dilanjutkan. Mungkin ini yang mendasarinya berkata jujur, bahwa kegiatannya sudah menghabiskan lima juta rupiah lebih. Laksana cinta bertepuk sebelah tangan, putra-putri daerah berani berkurban kumpulan waktu himpunan tenaga sejumlah dana demi semaraknya literasi, tetapi pemerintah abai dengan menghadiahkan gula-gula pemanis buatan berupa piaga penghargaan tanpa uang. Jika putra-putri daerah tidak punya kecintaan pada tanah airnya, mungkinkan dinas pemerintah tampak gagah semarah mentereng? Atau teruslah merayakan jiwa-jiwa patriotik semangat kebangsaan, karena pemerintahan membutuhkan sokongan menginginkan tumbal, sebab mereka belum sanggup berkata merdeka.

V
Memasuki isi buku, saya tidak tahu persis ini kekeliruan penulis atau layouternya. Misalkan di halaman (hlm) 5, catatan kaki: 10 https://quraishshihab.com/article/islam-dan-seni/  Padahal keterangan pada angka 10 tidak merujuk pendapat M. Quraish Shihab, malah sepelasnya baru menuliskan tuturan Quraish sampai hlm 6. Dan di hlm enam juga penulis memahat kalimat “Menurut Profesor Quraish Shihab,... dst,” nyatanya itu sambungan dari atasnya, ini sejenis pengelabuhan seolah perkara sebelumnya bukan dari Quraish. Padahal tulisan Quraish dari hlm 5 sampai 9, yang di bawahnya ada catatan kaki: 11 Ibid (Penulisan Ibid ini benar, tapi keliru fatal, sebab awalnya tidak tepat. Penulisan Ibid di buku ini seluruhnya merujuk catatan kaki sebelumnya, dan atau sebab setelah kata Ibid, tidak menerangkan dari halaman mana, ataupula dari sumber mananya). Ibid merupakan singkatan dari Ibidem, berasal dari bahasa Latin yang berarti “berada di tempat yang sama.” Pada Bab I terdapat banyak kutipan yang catatan-catatan kakinya ambyar. Sedang Bab II, jasa Carik (Sekretaris Desa) Lembor Mbah Soen’an sangat bermakna, karena telah menulis sejarah desanya berupa lelembaran naskah, yang disalin dari cerita tutur pernah berkembang, dan ini menambah baik kehadiran buku. Namun wawancara yang diedarkan tidak menebarkan kecurigaan lain, sehingga tiada hadir kemungkinan jauh dalam pembacaan Lembor, misalkan cara pandang penduduk mengenai pendidikan, pandangan masyarakat terhadap perubahan jamannya, dibandingkan para penduduk di desa-desa sekitarnya.

Dalam Bab III, banyak melakukan pengaburan data separas kerancuan, tengok hlm 61, catatan kaki 63, sama dengan catatan kaki 68 hlm 64. Anehnya hanya perbedaan akses, Pukul 14 : 12 WIB, yang kedua 13 : 34 WIB, ini semacam oplosan ajaib. Yang paling fatal hlm 66 ke 67. Hlm 66, catatan kaki: 70 https://sportourism.id/history/letusan-krakatau-keramat-karam-dan-klenteng-tjo-soe-kong : ini tidak dapat diakses, dan 71 Ibid. Namun bisa ditelusuri di sini, sebab sumbernya sama http://www.triptrus.com/news/letusan-krakatau-kramat-karam-dan-klenteng-tjoe-soe-kong Fatalnya, paragraf berikutnya tidak nyambung dengan hlm 67 lalu 68, catatan kaki: 72 Ibid dan 73 Ibid. Sebab penasaran, saya menelusuri pada skripsinya, adanya dari http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3135/tanjidor : tidak bisa diakses (di skripsi diakses 14 Mei 2017), dan Djennar memperbaharui datanya pun tidak dapat diakses pada http tersebut (sepertinya tidak melakukan, hanya mengganti tahunnya saja 14 Mei 2019), tengok hlm 64. Namun dapat ditelusuri di sini https://jakarta.go.id/artikel/konten/4770/tanjidor (diposting hari Rabu, 01 Februari 2017 00:00 WIB). Maka Ibid 72 dan 73 pada buku AAT hlm 68 secara otomatis salah, sebab jumputan datanya bukan dari http “kedua” di atas, dan salah lagi kalau dirujuk catatan kaki 69 hlm 65, karena pengambilannya dari data http “kedua” terakhir. Atau Djennar malah mengacaukan sumber data skripsi. Di bawah inilah yang menjadikan awalnya saya janggal, baca paragraf hlm 67 buku AAT, skripsi hlm 57, kurang lebih sama:

“Selain berkembang di daerah Jakarta dan sekitarnya, ternyata kesenian ini juga berkembang dan tersebar di daerah-daerah luar Jakarta seperti daerah-daerah yang masuk dalam pembagian regional kebudayaan Jawa Islam Pesisir Kulon dan Pesisir Wetan menurut Koentjaraningrat. Daerah-daerah tersebut ialah daerah Indramayu, Cirebon, Pemalang, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Jepara, Rembang, Tuban, Gresik, dan Lamongan. Dengan keterangan, daerah Cirebon ke arah timur hingga ke daerah Demak masuk dalam regional kebudayaan Jawa Islam Pesisir Kulon, sedangkan daerah Demak ke arah timur hingga ke daerah Gresik dan Surabaya masuk dalam regional kebudayaan Jawa Islam Pesisir Wetan. Hal ini, dikarenakan para pemain pertama kesenian ini dulunya tidak berasal dari satu daerah saja, melainkan dari daerah-daerah lain di sepanjang Pulau Jawa. Bahkan kesenian ini berkembang di daerah Kalimantan Barat dan pernah berkembang juga di daerah Kalimantan Selatan. Berikut peta tematik persebaran kesenian tanjidor di sepanjang Pulau Jawa bagian utara yang masuk dalam pembagian regional kebudayaan Jawa Islam Pesisir Kulon dan Pesisir Wetan.”

Sumber aslinya tidak menyebut nama-nama kota lain, selain Jakarta, Cirebon, Tangerang, dan Indramayu, atau lewat tiupan ajaib bim salabim “menurut Koentjaraningrat,” muncullah kata-kata tersebut. Ini semacam upaya pencarian pembenaran, meski secara realitas tanjidor ada di kota-kota itu misalnya. Atau bentuk pengayaan dari sumber data seyogyanya tidak dioplos seenaknya, agar pihak yang meneliti tidak kecewa oleh kabar pengembangannya terlepas dari sumur keasliannya. Apakah http yang tidak bisa diakses mengunggah kebenaran skripsi, dan buku AAT? Saya sudah biasa kelola website sejak 2008, maka rujukan http yang saya sodorkan bisa dikonfirmasi ke admin websitenya, kalau pembaca ragu kebenaran berita postingannya. Dari penelusuran ke sini, terlihat mencoba menambah kabar, tapi terasa mengawang, disaat merujuk peta penyebaran tanjidor dari Jakarta ke Lembor, lihat hlm 68. Padahal atas kota-kota disebutkan itu, seyogyanya diberikan sedikit gambaran perkembangannya, sehingga logika maupun realitas terbangun dari teks yang disuguhkan, tidak ngambang serupa titel lagunya Gombloh, “Di Angan-angan.” Dari hlm 69 ke akhir Bab III hlm 92, hasil wawancaranya sangat berarti bagi kemajuan data.

Buku AAT pernah diresensi oleh M. Riyadhus Solihin di koran Radar Bangsa 10-19 Desember 2019 bertitel “Alur Alun Tanjidor : Sebuah Usaha Permulaan Penulisan Kesenian Tradisional Rakyat yang Merdu.” Namun tanpa memberitakan mulanya dari skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2017 atas nama Raudlotul Immaroh, perempuan kelahiran Lembor 14 April 1995. Dan lantaran kritik ini meski baru slentingan di fb, pada 31 Desember 2019, Radar Bangsa kembali kabarkan buku AAT lewat judul “Tanjidor Lembor Meriahkan Festival Sunan Lesbumi PWNU Jatim 2019” dengan mendahulukan nama Raudlotul Immaroh, dilanjutkan A.H. J Khuzaini, yang seakan malah jadi asistennya.

Akhirnya, sebagai kritikus amatiran, saya tidak tega melucutinya satu-persatu setiap paragraf sambil melihat catatan kaki menelusuri sumbernya, jika merujuk sebuah karya bersebut pikiran pengarang bernama penulis. Maka, saya cukupkan dengan menghirup udara mengambil napasan besar, La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim. Bab IV hingga akhir buku ini, profil dua penulis hlm 163, anggaplah baik-baik saja. Di sini mungkin saya agak khawatir timbul lagi kecewa, atau maka bacalah tanpa merujuk sumbernya, dan sudahlah...

*) Pengelola website Sastra-Indonesia.com pemilik PustakapuJAngga.com yang tinggal di LA.
[Catatan ini pemantik bedah buku AAT pada tanggal 17 Januari 2020, di Sanggar Pasir, dengan alamat Mulyosari, Banyuurip, Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog