Senin, 13 Januari 2020

MEMBACA “ALUR ALUN TANJIDOR” DARI BINGKAI LAIN JENDELA

Rakai Lukman

Dalam membaca sebuah buku membutuhkan kejelian dan ketelitian tersendiri. Menjadi seorang apresiator buku, jika sekedar membaca seperti orang awan tentunya sambil lalu saja. Sedangkan dalam tahapan membaca, yang pertama berprilaku informative reading, kedua: interpretative reading, dan ketiga: creative reading, ini saya peroleh ketika menjadi moderator bedah karya Mahendra di SMAN I Sidayu Gresik, dia mengutarakan hal itu di sela perbincangan buku karyanya “Kampung Terapung”. Kegiatan apresiasi adalah pengenalan dalam pemahaman yang tepat, pertimbangan dan penilaian, serta pernyataan yang memberikan penilaian. Adapun tingkatan seorang apresiator karya adalah tingkat empatik, estetik dan apresiasi kritik.

Pada tingkat apresiasi kritik memerlukan sebuah klarifikasi, deskripsi, menjelaskan, menganalisa, dan mengevaluasi sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan atau penilaian. Jalan ini yang mencoba saya tempuh untuk memperoleh telaah terhadap karya dalam bentuk buku “Alur Alun Tanjidor di Desa Lembor-Brondong-Lamongan (1952-2019). Buku ini memperbincangkan kesenian di sebuah desa, yang mana desa dulu-kini-esok menjadi pondasi berlangsungnya sebuah bangsa dan Negara. Kesenian adalah bagian dari unsur-unsur kebudayaan, sebagaimana yang diuraikan oleh C. Kluckhohn dalam karangannya yang berjudul “Universal Categories Of Culture” (1953). Tanjidor merupakan bagian dari kesenian yang ada di Indonesia. Sehingga sepatutnya buku ini diapresiasi selayaknya secara obyektif dengan sedikit mengesampingkan sesuatu yang bersiap emosional.

Baiklah, saya mulai dari cover buku, Nampak terlihat dari muka bukanya sudah lumayan dengan cara mengambil ikon alat musik “jidor”. Sebagai perwakilan representasi dari konten buku yang disajikan, bahkan ikonnya dalam bentuk lukisan, entah alirannya apa?. Dari jidat buku tertera nama penulisnya, A.H.J Khuzaini dan Ass. Roudhotul Imaroh. Seperti halnya “A.H.J” sebuah inisial, sedangkan “Ass.” yang saya kira inisial ternyata ada motif tersembunyi. Ini sudah dibahas di Media Sosial sehingga nampak riuh dan aduhai. Begitu juga A.H.J tertulis lebih besar daripada R.I, saya serahkan pada audien saja ya kesimpulannya. Silahkan dicek di Pengantar penulis pada halaman xv. Juga bisa dilihat di setiap lembar pojok buku bagian bawah, cukup tertera A.H.J saja, yang R.I entah kemana?. Di bagian bawah tertera Kata Sambutan: Dr. Yunronur Efendi. beliau adalah SekDa Lamongan, dan Epilognya oleh Billy Ariez, pegiat literasi dan aktivis senior PMII. Akan tetapi saya sedikit kecewa ketika edisi pertamanya ada sambutan dari Kepada Desa Lembor, kenapa kok dihilangkan di edisi keduanya? Kita konfirmasi dengan penulisnya ya?

Hm, baru cover ya, Semoga agak seru, tapi jangan sampai saru ya! Buku ini berasal dari skripsi yang ditulis oleh Roudhotul Immaroh dengan judul “Sejarah Perkembangan Kesenian Tanjidor di Desa Lembor-Bondong-Lamongan (1952-2017)” diperuntukkan untuk memperoleh gelar sarjana di UIN Sunan Ampel Surabaya. Yang kemudian diangkat lagi oleh seniornya di teater Sabda, A.H.J Khuzaini. Yang kemudian punya inisatif menjadikannya sebuah buku, yang mana  bisa dikonsumsi oleh publik, tidak sekedar menjadi artefak karya ilmiah di perpus dan koleksi pribadi si penulis skripsi. Kita harus apresian dengan langkah yang ditempuh A.H.J. Salut buat Sodara!

Tindakan yang dilakukan ini merupakan proses kebudayaan aktif. Yang mana wujud kebudayaan ada tiga, sebagaimana yang terdapat dalam “Kapita Selekta Manifestasi Budaya Indonesia, Bandung: Alumni, 1984”, Pertama: Kompleks Gagasan (sistem budaya), kedua: kompleks aktivitas (sistem social), ketiga: komplek benda (kebudayaan fisik). Proses penulisan buku ini menjadikan ketiga wujud itu hidup menjadi satu kesatuan yang sirkular. Kegiatan yang dilakukan tentunya mencurah tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Ada proses yang harus dilalui seperti kesediaan si penulis skripsi, pihak kampus dalam hal ini UIN Sunan Ampel Surabaya dan dosen penguji skripsi, jikalau itu dibutuhkan. Kemudian ada proses penambahan beberapa tulisan dan validasi dari data-data yang sudah ada dan menamba data-data yang lain dikarenakan judulnya sudah “Alur Alun Tanjidor di Desa Lembor-Brondong lamongan (1952-2019)” meskipun sebenarnya esensinya hampir sama antara “sejarah perkembangan” dan “Alur Alun”.

Buku yang bersumber dari skripsi ini ditulis dengan menggunakan pendekatan etno historis (antropologi sejarah). Dari kurun waktu yang relative panjang 1952-2019. Dan dibagi secara periodik; periode I tahun 1952-1975 Masa Pertumbuhan, periode II tahun 1975-1994 Regenerasi, Periode III tahun 1994-2019 Kebangkitan Kembali. Tiap periode tentunya memiliki ciri khas dan tantangan tersendiri. Mari kita diskusi tentang perkembangan ini! Sebelum itu kita telaah dulu tentang landasan historisitas penamaan “Tanjidor” yang dikiblatkan ke ujung barat pulau jawa, yakni daerah DKI, tepatnya pada kebudayaan Betawi, yang memiliki kesenian Tanjidor. Sehingga dengan nama yang sama dianggap Tanjidor di Lembor ini asal muasalnya dari Betawi.

Kita masuki BAB III tentang Tanjidor dan Manusia Nusantara yang menakjubkan, pada hal. 56 ada pertanyaan yang asyik “Tanjidor Darimana Kau Datang?”. Kalau sejarah perkembangan, Tanjidor Betawi sudah banyak yang menulis, bahkan kalau kita searching pasti muncul. Salah satunya di www.indonesiakaya.com, diakses sendiri ya wahai para audiens, yang Budiman!. Sedangkan kalau saya lebih tertarik dengan pertanyaan “Tanjidor Desa Lembor, darimana kau datang?” pertanyaan ini saya haturkan untuk menjadikan Tanjidor di Lembor atau apalah itu, lebih percaya diri, sebagai pemilik kebudayaanya sendiri tanpa berkiblat pada Tanjidor yang ada di betawi. Sehingga local wisdom (kearifan lokal) dan in genius peoplenya semakin tangguh dan percaya diri.

Kita bisa lihat peta yang ada di halaman 68. Jakarta-indramayu-cirebon-pemalang-semarang-kudus-Pati-Jepara-Lasem-Tuban-Gresik(Ujung Pangkah)-Lamongan (Lembor). Peta penyebaran ini bagi saya masih janggal, kalau tanjidor di Lembor berasal dari Tanjidor Betawi. Seolah ada patahan sejarah yang muncul. Mari kita diskusikan ini wahai audiens yang Budiman!. Saya coba tawarkan dengan pisau analisa yang barangkali sedikit menggelitik isi kepala, tentang diskursus Michel Foucault dalam Arkeologi dan Genealogi-nya, yang mana “pendekatan sejarah yang percaya begitu saja pada fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang umum diterima. Pendekatan ini bertugas merumuskan relasi-relasi kausalitas, antagonism, atau ungkapan antar fakta dan seri-seri kejadian yang satu dengan lainnya, yang mana harus membentuk seri-seri fakta dan kejadian secara baru”.

Dalam arkeologi kita akan menemui diskotinuitas antara monument yang satu dengan yang lain. Demikian juga pendapat dari Habermas, tugas Arkeolog adalah mengembalikan dokumen-dokumen yang bisa berbicara dengan monument-monumen yang bisu, yang dibebaskan dari konteksnya untuk membuka jalan bagi penulisan strukturalis. Dokumen adalah fakta-fakta dan kejadian historis yang telah diinterprestasikan dalam totalitas dan finalitas yang jelas. Sedangkan monument-monumen adalah fakta-fakta dan kejadian historis yang belum diinterprestasikan. Arkeologi berusaha sampai pada monument-monumen itu untuk membentuk seri-seri baru.

Ini perlu saya sampaikan agar kita tidak terjebak pada melodramatis proses penulisan sebuah buku. Mari kita lanjutkan diskusinya! Seyogyanya adalah perjalanan alur dari Jakarta ke Lembor, akan tetapi ada patahan sejarah ketika selepas dari indramayu. Yang kalau kita lacak dari Definisi, beberapa karakter, alat musik, komposisi dan misi kesenian sangat jauh berbeda antara tanjidor betawi dan tanjidor lembor. Kita bisa melihatnya melalui kajian Difusi Budaya, yaitu; penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan pertemuan-pertemuan antara individu-. individu dalam kelompok suatu manusia dengan invidu kelompok tetangga. Difusi ini akan memuncul Pertanyaan sederhana, adakah orang desa Lembor pernah ke betawi atau sebaliknya?

Saya lanjutkan Diskusi bukunya ya? Jika ditelaah perbedaanya keduanya. Kita lihat dari awal mulai di periode I asal mula, bisa kita lihat bahwasannya tanjidor Lembor bukan kelompok pemain musik melainkan seni pertunjukan pencak silat, yang diiringi dengan musik. Yang kemudian kita kenal dengan macanan dan kuntulan. Nah kalau begini tanjidor yang ada di Lembor tidak sama dengan yang di Betawi. Asumsi saya sementara akar kesenian pertunjukan musik, pencak, dan sulap ini berasal dari Ujung Pangkah Gresik. Ini dari pendekatan arkeologi, menyingkap unsur-unsur terdalam dan tersembunyi dari masing-masing wacana, sekaligus memperlihatkan perbandingan kebenaran yang diwacanakan dalam periode sejarah” adapun pendekatan genealogi diperlukan mengungkapkan variable tersembunyi dan sebab terjadinya perbedaan tersebut.

Mungkin sedikit serius dalam diskusi kali ini? Kita bisa menggunakan metodenya F Graebner (1877-1943) sebagaimana yang terdapat dalam bukunya “Methode der Ethnologie (1911)”. Metode ini sebagai klasifikasi unsur-unsur kebudayaan dari berbagai tempat yang dimasukan dalan kulturkreise, yakni; lingkaran di muka bumi yang memiliki unsur-unsur kebudayaan yang sama. Prosedur klarifikasinya sebagai berikut: (1) peneliti harus melihat di tempat-tempat mana terdapat unsur-unsur kebudayaan yang sama. Kesadaran persamaan dicapai dengan alasan perbandingan berupa ciri-ciri unsur-unsur tersebut, yang biasa disebut Qualitats Kriterium. (2) peneliti melihat apakah unsur yang satu sama dengan unsur yang lain, alasan perbandingan berupa sejumlah banyaknya (kuantitas) dari berbagai unsur kebudayaan, yang disebut Quantitats Kriterium. (3) Peneliti menggolongkan ketiga tempat tersebut, yang seolah-olah menempatkan pada satu lingkaran, yang ketiganya menjadi Kulturkreise (Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, 1987).

Saya mencoba mulai mencari persamaan dan perbedaan dari Tanjidor di Betawi, Tanjidor di Lembor dan Macanan di Gresik Utara. Mari kita telisik tentang alat musik yang digunakan dalam Tanjidor Betawi. Jenis-jenis alat musik di Tanjidor Betawi adalah sebagaimana berikut; Klarinet (alat music tiup), French horn (alat music tiup), Trombon, Saxofon, Tenor horn, Drum, Simbal, dan Tambur, ini bisa dilacak di buku halaman 58. Adapaun jenis-jenis alat music di Tanjidor Lembor adalah sebagai berikut: Gendang, rebana, Jidor, kendang, terkadang ada tambahan gamelan, gong dan lain-lain. Sedangkan di pencak macan, atau macanan alat music yang digunakan, sebagaimana berikut: kendang, Gong, Gamelan, Jidor dan rebana. Dari alat yang digunakan tentunya komposisi yang dihasilkan juga berbeda. Adapun di Lembor dan Pangkah ciri dan karakteristiknya sama.

Kita runut lagi ya, audiens yang budiman! Ini dari bentuk penyajiannya. Kalau Tanjidor di Betawi, merupakan seni musik yang banyak di pengaruhi oleh kebudayaan Eropa, yang merupakan ensemble atau permainan musik yang dilakukan bersama-sama. Nama ini lahir di era kolonial Belanda. Kata Tanjidor berasal dari bahasa Portugis “Tangedor”. Lebih lengkapnya bisa dibaca di buku halaman 62. Pertunjukan ini dimainkan oleh 7 sampai 10 orang, yang selanjutnya ditambahi dengan iringan boneka besar, yang disebut ondel-ondhel, lagu-lagu yang dibawakan antara lain, Kramto, Bananas, Cente Manis, keramat karam, merpati putih, surilang dan lain-lain. Salah satu terekam dalam cerita tutur yang ditulis Tio Tek Hong; “Emak, bapak si nona mati, saying disayang tiap malam saya tangisin, kramat karem ada lagunya”.

Sedangkan Penyajian Tanjidor Lembor, termasuk dalam pertunjukan yang menggabung seni pertunjukan dan musik, sebagai pengiring. Suguhan kesenian ini adalah pencak silat (macanan dan kuntulan) serta kesenian sulap, terkadang debus. Juga ada pembacaan sholawat barzanji dan tembang-tembang berbahasa jawa. Salah satunya Damar Muncar:

Damar muncar-damar muncar neng dhuwur langgar
Ing langgare-ing langgare kiai-santri
Kiai-santri aweh hurmat kanjeng Gusti
Ringin kurung-ringin kurung pasebane
Pasebane-pasebane kiai santri
Kiai-santri aweh hurmat kanjeng Gusti                 

Paket lengkapnya bisa dilacak di buku halaman 82. Penyajian yang hampir mirip bisa kita lacak di Fakri Badri Rizal yang menulis di Jurnal Avatara, e-Jurnal Pendidikan Sejarah, vol. 5, N0. 3 Oktober 2017, menulis tentang kesenian macanan di desa kisik kecamatan bungah kebupaten Gresik (1958-1995). Dia menyimpulkan karakteristik kesenian macanan pada tahun 1958-1990 berbeda dengan 1990-1995. Adapun di tahun 1958-1990 memiliki karakteristik: 1) Pemain macanan didominasi orang dewasa dengan kemampuan tenaga dalam yang didapat melalui puasa mutih yang diakhiri dengan pati geni. 2) pemimpin kelompok bertugas menjadi pengatur pertunjukan kesenian macanan, 3) peralatan macanan disediakan oleh tuan rumah, 4)variasi gerakan dilakukan oleh pemain macanan. 5) menggunakan atribut sesuai peran. 6) Pementasan diiringi kendang dan jidor.

Sedangkan karakteristik pada tahun 1990-1995, 1) pemimpim kelompok macanan tidak lagi mengatur, tetapi beralih menjadi pembawa acara dan komentator pertunjukan. 2) pemain kesenian macanan didominasi oleh pemuda tanpa menggunakan tenaga dalam dan hanya menggunakan gerakan silat serta beberapa kunci gerakan macanan. 3)pementasannya diiringi dengan kendang dan jidor, juga oleh kibor. Hal ini bisa kita tarik kesimpulan sementara bahwasannya Tanjidor yang ada di Desa Lembor bukanlan berasal dari Betawi, akan tetapi berasal dari Gresik belahan utara.

Dalam tulisan tersebut juga menampilkan sesuatu yang menarik. Penulisnya mengungkap adanya pencak macan di era sebelum kemerdekaan dan masa revolusi fisik penyajian kesenian macanan. Kesenian ini sarat dengan unsur magis dari pemainnya. Seorang pemain macanan adalah laki-laki dewasa yang menggunakan ilmu kanuragan untuk kekebalan tubuh agar tidak merassakan sakit ketika memainkan macanan. Melalui kesenian ini pula sebagai sarana pemberian tenaga dalam dan ilmu bela diri. Ilmu itu digunakan untuk menanggulangi penderitaan rakyat atas kekejaman serta digunakan sebagai kekuatan untuk melawan penjajah belanda. Kesenian tradisional ini banyak menonjolkan unsur beladiri dan gerakan tari yang sederhana, yang berorientasi pada kehidupan jiwa dan perlindungan diri.

Kiranya saya cukupkan sekian dulu, melihat buku dari jendela yang lain lebih mengasyikan daripada sekedar pledoi dan melankolia semata. Inilah pengantar menuju diskusi dan Bedah Buku “Alur Alun Tanjidor Desa Lembor-Brondong-Lamongan (1952-2019). karya dua penulis: A.H.J. Khuzaini dan Roudhatul Immaroh, dengan moderator Sholihul Huda. Pembedah: Nurel Javissyarqi dan Rakai Lukman. Diselenggarakan di Sanggar Pasir, Pukul 13.00 WIB-selesai, hari Jumat 17 Januari 2020. Support by Mata Pena Pantura, Sanggar Pasir, Pustaka Pujangga, Kotaseger dan segenap rumput dan dedaunan. Semoga ini adalah perjumpaan kebudayaan yang progress dan berkelanjutan!

Salam Budaya, Salam Berdaya

Dukun, Januari 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog