Senin, 25 November 2019

MANUSIA DI UJUNG SENJATA

Anindita S Thayf
Kompas, 7/07/2018

Delapan belas tahun usai Perang Dunia II, lewat lagu Blowing in The Wind, Bob Dylan pernah bertanya kepada pendengarnya di seluruh dunia tentang nilai kemanusiaan, khususnya di tengah perang. Puluhan tahun kemudian, lewat sebuah novel, Han Kang mengajukan pertanyaan serupa pula. Kepada pembacanya, dia mempertanyakan makna hidup dan nilai seorang manusia di hadapan senjata.

Mata Malam merupakan novel yang berlatar suatu peristiwa bersejarah yang terjadi di Korea Selatan. Pada tahun 1980, di kota Gwangju, pecah serangkaian aksi demo yang berujung pada pembantaian yang dilakukan pihak militer. Atas nama negara, tentara menembaki massa yang terdiri dari rakyat, buruh, pelajar dan mahasiswa karena dianggap perusuh dan pemberontak. Dengan alasan keamanan nasional, pembunuhan massal dilakukan tanpa pandang bulu dan belas kasihan. Pembantaian Gwangju menyebabkan ratusan orang tewas.

Mendengarkan Suara Korban

Sebagai pengarang kelahiran Gwangju, Han Kang merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu sehubungan dengan kejadian tersebut. Dia pun meminjamkan suaranya pada para korban. Kepada tujuh tokoh ceritanya, Han Kang membebankan tugas yang sangat berat: membongkar apa yang telah dikubur dan berusaha dibungkam oleh negara selama bertahun-tahun.

Meski berpusar pada satu kejadian utama, Mata Malam menggunakan tujuh suara untuk mengisahkannya ke dalam tujuh bab. Tujuh suara itu adalah milik Sang Pemuda, Kawan Sang Pemuda, Sang Penyunting, Sang Tahanan, Sang Gadis Buruh, Ibunda Sang Pemuda dan Sang Penulis. Meskipun tidak semuanya berwujud manusia, ketujuhnya mampu menggerakan cerita dalam alur maju-mundur yang padu.

Novel dibuka dengan suasana mencekam yang tercipta dari sebuah ruangan yang lebih pantas disebut bangsal jenazah pada suatu malam di tahun 1980. Di ruangan berisi mayat korban penembakan tentara itu, seorang tokoh yang disebut Sang Pemuda mencari sahabatnya. Sang Pemuda kemudian tergerak menjadi relawan yang bertugas mengidentifikasi mayat para korban, meskipun pada akhirnya dia ikut menjadi bagian dari mereka.

Dengan kekuatan deskripsinya, Han Kang berhasil membuat kisah tentang Sang Pemuda sebagai bab pembuka yang mampu memikat pembaca lewat nuansa horornya yang mengganggu. Bab inilah yang kemudian menjadi latar novel Mata Malam sekaligus pijakan bagi bab-bab selanjutnya. Lewat suara tokoh yang bergonti-ganti sudut pandang penceritaan, pembaca diajak ikut merasakan penderitaan para korban baik yang sudah meninggal maupun masih hidup, sebelum dan sesudah kejadian, pun keluarga mereka.

Mengawetkan Ingatan Kolektif

Menurut Albert Camus, pada hari ketika kejahatan mengenakan busana tanpa dosa, ia digunakan untuk menilai dirinya sendiri. Pada hari itulah seorang jenderal bernama Chun Doo Hwan memerintahkan para tentara untuk mengenyahkan siapapun yang dianggap perusuh atau dituduh pemberontak. Akibatnya, seorang remaja ditembak mati di tengah jalan, dua orang gadis digiring menuju tempat hukuman, seorang mahasiswa dipenjara dan disiksa habis-habisan, seorang ibu kehilangan anaknya dan seorang penulis yang terketuk hati nuraninya memutuskan untuk melakukan sesuatu.

Dong Ho dan Jeong Dae adalah pelajar SMA yang tewas mengenaskan di ujung senjata tentara. Jin Soo dan Seon Joo adalah anggota milisi yang melewati hari-hari berat penuh trauma sebagai bekas tahanan politik. Eun Sook, ibu Sang Pemuda dan Sang Penulis adalah orang-orang yang mesti hidup dalam bayang-bayang kelam sejarah kekerasan bangsanya. Semua itu terjadi di ujung senjata.

Dengan senjata, seorang pembunuh dan penyiksa bisa menjelma hakim. Pun, seorang manusia berhati nurani berubah menjadi monster tanpa hati. Itulah yang terjadi di Korea Selatan pada pertengahan Mei 1980, pun di Indonesia dan banyak tempat lain. Lewat senjata, manusia berusaha dilucuti nilainya dengan diperlakukan bak seonggok daging. Ironisnya, kekerasan semacam ini terus terjadi karena manusia punya kecenderungan untuk selalu menemukan pembenaran atas ketidakadilan yang dilakukannya, termasuk membinasakan sesamanya.

Dalam Mata Malam, ada tiga sudut pandang penceritaan yang dipakai. Meskipun gaya bahasanya cenderung populer dan bentuk kalimatnya sederhana, tapi penggunaan sudut pandang yang bergonta-ganti membuat proses membaca tidak selancar yang diharapkan.

Selain itu, keputusan Han Kang menyembunyikan nama ketujuh tokoh utamanya selama mungkin rentan membuat bingung pembaca. Misalnya, dalam sebuah adegan dimana tokohnya lebih dari satu dan berjenis kelamin sama, sebutan “perempuan itu” sebagai kata ganti untuk si tokoh utama akan tumpang tindih dengan sebutan untuk lawan bicaranya.

Kebingungan juga rentan muncul pada bagian-bagian yang dicetak dalam huruf miring. Han Kang menggunakan huruf miring untuk menandai kalimat yang diucapkan tanpa suara oleh tokoh manusia, juga tokoh hantu. Dibutuhkan ketelitian untuk memastikan mana suara manusia, mana suara hantu.

Mata Malam merupakan upaya Han Kang untuk mengawetkan ingatan kolektif bangsanya atas suatu peristiwa kekerasan kemanusiaan. Layaknya yang terjadi di negara lain, kebenaran pahit itu pun berusaha ditutup-tutupi oleh pihak penguasa, salah satunya lewat penyensoran.

Meski bukan jenis novel yang mampu menimbulkan bara perlawanan di hati, Mata Malam tetap bisa dilihat sebagai karya yang berusaha melawan dengan caranya sendiri. Inilah novel perkabungan yang mengajak pembacanya untuk mengheningkan cipta, merenungkan nasib orang-orang yang darah dan dagingnya dikorbankan dalam sebuah aksi biadab.

Sebagaimana ujar Camus, kata yang hanya diberi makan darah dan hati dapat mempersatukan manusia. Dan, memang demikianlah adanya. Lewat pena dan kertas, sastra mampu melawan para tiran. Pun, mengingatkan manusia bahwa nilai kemanusiaan bukan terletak di ujung senjata, melainkan dalam hati nurani. ***

*) Novelis dan esais.

Judul: Mata Malam
Penulis: Han Kang
Penerjemah: Dwita Rizki
Penerbit: Bentara Aksara Cahaya Cetakan: I, 2017
Tebal: 258 halaman
Isbn: 976-602-6486-12-7
https://www.facebook.com/anindita.thayf/posts/10205007308500625

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog