Jumat, 13 September 2019

Risalah Tujuh Bukit

(SELEPAS BATU)
Naskah Teater karya : Rakai Lukman *

SINOPSIS

Risalah Tujuh Bukit, risalah tanda, risalah peristiwa dan risalah rasi bintang. Risalah tujuh bukit adalah fase perjalanan manusia-manusia menemu diri dalam ruang tingkat dan berjenjang. Manusia yang lahir, tumbuh berkembang sampai ia meninggalkan alam fana.

Tujuh bukit juga perjalanan spiritualitas, mulai dari “ngelmu alif tumeko  samudraning rasa” sebagai ilmu (bakal menempuh perjalanan mengarungi samudera kehidupan). Pun prosesimenggali air kehidupan (tirta kamandanu) dari pribadi manusia untuk menyatukan mikro-kosmos dan makro-kosmos. Kemudian wadak tubuh bergolak terpukau dan melewati pergolakan batin sampai menanjak menuju puncak bukit (tajalli). Lalu pribadi dalam gelombang batin, pertarungan material dan imaterial. Pribadi itu lantas berserah pasrah di haribaan tuhannya “nyawijining rasa tumindak’e budi bekerti” disela perjalanan itu, sang pencari menemui dan menuang sajak:

“bukit-bukit itu sasmita

Risalah rasi bintang

Kemana arah pulang

Sedang mercusuar itu tumbang”

Sebuah pertunjukan dengan pola tujuh titik. Semacam diorama hidup bertutur perjalanan menemui diri untuk sampai pada semesta keabadian.

“Tata terus salira gusti

beninge rasa, pambuka kamulyan...”

OPENING:

Sosok-sosok berjalan menempuh awal perjalanan, mereka menuju bahtera perjalanan laku spiritual dengan serempak melantunkan “ngelmu alif tumeka samudraning rasa”. Dalam perjalanan mereka dihaturkan sebuah penggalan sajak:

“Alifmu

pedang di tanganku

Susuk di dagingku

Kompas di hatiku”

Mereka masih bersama-sama melantunkan “ngelmu alif tumeka samuderaning rasa” lalu berikrar bersama-sama:

Alifmu pataka”

Pataka dibelah tujuh

Menembus lapis petala langit

Alifmu pataka

Rambut dibelah tujuh

Menembus lapis magma bumi”

Mereka menuju perjalanan untuk sampai pada titik persinggahan pertama, di sebuah bekas bukit yang sudah ditambang. Di titik pertama, mereka menempuh bahtera qudrah.

PERSINGGAHAN PERTAMA: BAHTERA QUDRAH

Di sebuah bahtera mereka menempuh berbagai peristiwa, di atas kapal mereka menjadi awak kapal yang menempuh perjalanan, ada yang jadi nahkoda, kelasi kapal dan ada yang memegang lampu badai, sampai mereka menyaksikan dari atas kapal, di mana saat itu juga mereka terombang-ambing oleh badai dan gelombang, suasana mencekam, mereka ingin singgah akan tetapi, mercusuar yang mereka cari sudah hampir tumbang, lalu salah seorang dari mereka mengucapkan potongan sajak:

“Bukit-bukit itu sasmita

Risalah rasi bintang

kandungan ibu, paku bumi

dihempas badai”

seluruh awak kapal hamper terombang-ambing, ada yang bergulung-gulung, ada yang terjungkal, akan tetapi mereka tetap berusaha teguh dalam menempuh perjalanan.

PERSINGGAHAN KEDUA: MENGGALI AIR NURANI

Selepas mengarungi samudera, sosok-sosok mulai menggali-gali sumber air kehidupan. Mereka menggali tanah, udara, api dan logam, di bekas sebuah tambang batu yang kedua, mereka menerka-nerka bahwa sumber mata air ada di luar dirinya, akan tetapi mereka tertipu, ternyata sumber itu berada di dalam dirinya sendiri. Mereka mengeksplorasi gentong dengan bergumam di dalam gentong, menabuh-nabuh dimulai dari kesunyian diri sampai bergolak , di sekililing mereka dipagari dengan bebatuan kecil dan lampu-lampu kecil di atas cobek sejumlah Sembilan. Kemudian berusaha keluar dari lingkaran yang mengepung dirinya. Lalu mereka menempuh perjalanan pada persinggahan ketiga, menuju pertemuan jagat alit dan jagat gedhe.

PERSINGGAHAN KETIGA: ASMARAGAMA (MANUNGGAL JAGAT ALIT LAN JAGAT GEDHE)

Lokasinya di sebuah lereng bukit ketiga, diawali dengan dengan sesosok yang menyuarakan penggalan tembang:

“Aduh Gusti pakertining ngelmu

ingkang tumrap ning ngalam dunyo

Agomo ageming aji.

Sopo entuk wahyuning Allah

Gyo dumilah mangulah ngelmu bangkit

Bangkit mikat reh mangukut”

Kemudian tembang itu lagukan, tembang pangkur, suasana tepatnya di bawah pohon yang di gantungi dengan kukusan yang berisi air. Di bawahnya ada sosok yang sedang mencangkul tanah harapan unruk ditanami biji-biji kearifan,, yang kelak tumbuh dan berkembang. Hingga bisa buat bernaung dan buahnya kelak menjadi bekal menuju keabadian. Saat melalukan ini didiringi ritus tarian-tarian eksploratis dan magis.

PERSINGGAHAN KEEMPAT: AKAR KENANGAN

Selepas menumpuh perjalanan penyatuan diri dan semesta, sosok itu kemudian menguarai beberapa kenangan akan dirinya. Kepala dia digelantungi dengan akar-akaran yang di sambungkan dengan bebatuan atau orang-orangan yang membawa, bara (abu), es batu balok (dingin), kering (dedauanan dan ranting kering), serta batu-batu yang tidak beraturan. Lalu sosok itu mencoba terlepas darinya. Dan perlahan-lahan melepaskan akar kenangan dan menempuh perjalanan selanjutnya. Lalu berujar: kucari semesta, kupilih semesta, jadilah semesta!

PERSINGGAHAN KELIMA: PIRAMIDA TAJALI

Muncul dari balik gelapan, suara remang-remang, lalu sosok-sosok itu memasuki area sisa tambang batu yang dibangun sebuah piramida alam semesta (benda-benda, mahluk dan pengejawantahan yang Esa). Mereka menuju tempat itu dengan riang dan melantukan nyanyian yang riang:

Preng reketek

gunung gampimg ambrol

Susu mentek-mentek

bokong gedhe megal-begol.

Lalu mereka naik piramid dari batang bamboo itu secara perlahan-lahan sambil membacakan “cinta adalah hembusan angin”. Sampai salah satunya di atas, lalu melihat ke bawah, dan menyuarakan suara bebukit:

Bukit satu persatu gugur

Terpencar acak-acakan

Berhamburan bagai kapas

Diterbangkan kebringasan

Diterjang angkara murka

Tandon hayat pun jadi mayat

Lalu bergerak-gerak lagi dan kembali mengutarakan kondisi alam yang telah hina dina, dengan menyuarakan:

Tujuh bukit tercerai berai

Ke mana arah pulang

Jika mencusuar itu tumbang!

Lalu mereka turun perlahan-lahan dengan tenang dan setelah sampai di bawah mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih bersahaja, dengan melantunkan:

pring reketeg gunung gamping ambrol

ati kudu teteg ja nganti urip kagol

pring reketeg gunung gamping ambrol,

uripa sing jejeg nek ra eling jebol

sampaikan mereka menuju pada persinggahan yang ke enam.

PERSINGGAHAN KEENAM: SALIK SUNGSANG (PERTARUNGAN MATERI DAN IMATERI)

Di kaki bukit sisa tambang. Sosok ini selepas dari perjalanan tajali, ia mengalami ujian dalam kehidupan yang telah dikusai oleh segala bentuk atribut dan benda-benda yang dimuliakan, disanjung dan dikeramatkan, ia mencoba keluar dari dunia materi dengan cara mati ing njeroni urip, ia dalam kondisi sakau, menimbang kesaksian akan ke-Esa-an dengan manusia-manusia yang telah diperbudak pangkat dan benda-benda. Dalam pertaruhanya ia berusaha kokoh, tetapi selalu dihinggapi oleh mimpi-mimpi yang menjelma anatomi kematian yang terbaca secara terbata-bata. Akan tetapi dengan keteguhan dalam menempu ujian ia mencoba berserah pasrah pada yang kuasa segala. Dengan yakin dalam diri dan mengutarakan:

Alif jisim latif.

naqdu
jauhar sejati,

ialah syahadat jati.

darah hidup.

rasa sejati

Dzat Sukma

PERSINGGAHAN KETUJUH: PERENUNGAN

Lalu sampai pada persinggahan yang ketujuh, di mana ia melakukan perenungan dan membaca sebuah pengetahuan yang ia peroleh dan berujar:

adakah cinta yang bersumpah pada langit dan bumi?

suatu saat nanti langit runtuh, bumi terbang bagai kapas

keagungan cinta siapa yang kau bicarakan,

perjalanan panjang mana untuk sampai?

sebab keagungan cinta adalah milik Maryam kepada isa

dan perjalanan panjang adalah ketika musa membelah

dan melewati laut merah.

adakah yang lebih berat dari bumi?

Ada, beban ibu ketika mengandung dan melahirkan

adakah yang lebih tinggi dari langit?

ada, harapan ayah ketika mendidik dan membesarkan anaknya

cinta adalah hembusan angin

diiringi dengan beberapa sosok yang mendengarkan, lantas perlahan-perlahan bangun dan menebarkan dedaunan kering dan diiringi dengan tembang.

CLOSING

Seluruh pemain duduk melingkar di tengah-tengah  ada tumpeng dan dibacakan doa, kidung rumekso ing wengi:

Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno

Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak

Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Ati Adam utekku baginda Esis
Pangucapku ya Musa

Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman

Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhammad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal

SELESAI
(diramu kembali pada Februari 2019).
________________
*) Rakai Lukman, lelaki kelahiran Desa Sekapuk Ujung Pangkah Gresik, RT. 04 RW.03. Nama Aslinya: Luqmanul Hakim. Semasa kecilnya menikmati bangku sekolah di TK dan MI Bahrul Ulum Sekapuk. Remajanya di sekolah Mts. Dan MAK Assa’adah Bungah Gresik, sempat dalam asuhan PonPes Qomaruddin Sampurnan Bungah selama kurang lebih enam tahun. Di bangku Aliyah mulai berkenalan dengan teater dan puisi. Sejak saat itu ia tergabung dalam kelompok teater pelajar, Teater Havara MA Assa’adah Bungah. Juga diberi kesempatan sebagai Ketua EXIST (Extra Ordinary of Islamic Student).

Selanjutnya pada jenjang perguruan tinggi negeri, ia singgah di IAIN Sunan Kalijaga, berkenalan dengan Teater ESKA IAIN SUKA. Selama setahun ngangsuh kaweruh di situ. Selanjutnya dengan beberapa teman mendirikan Sanggar Jepit di Yogyakarta. Lalu nimbrung di Roemah Poetika, ikut ngaji puisi. Juga diberi kesempatan jadi Ketua IMAGE (Ikatan Mahasiswa Gresik di Yogyakarta).

Tahun 2010, pulang ke kampung Halaman, kembali bersinggungan dengan dunia teater dan pernik-pernik kesenian. Ikut ngopi dan nongkrong di KOTASEGER (Komunitas Teater Sekolah Sekab. Gresik). Pun diberi kesempatan bertegur sapa dengan DKG (Dewan Kesenian Gresik), sebagai ketua Biro Sastra 2016-2021. Ia sempat sebagai Pembina Ekstra Teater di SMKN 1 Sidayu, Teater Cakrawala SMK Ihyaul Ulum Dukun. Juga menjadi Guru tiban SBK di SMK Ihyaul Ulum Dukun Gresik.

Dari tahun 2000 sampai sekarang, beberapa karyanya ikut nampang di alam kesusastraan, di antaranya: 1). Antologi bersama dalam “Kitab Puisi I Sanggar Jepit” tahun 2007, “Burung Gagak dan Kupu-kupu” tahun 2012, dan “Lebih Baik Putih Tulang Dari pada Putih Mata” Seratus Penyair Nusantara, Festival Puisi Bangkalan II, tahun 2017. 2). Beberapa essai dalam “Seratus Buku Sastra Indonesia Yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan” Iboekoe tahun 2007. 3). Cerpen “Gadis Kebaya Ungu” menjadi cerpen pilihan terbaik, pada Lomba Ukiran Karya Hati (LUKH) tahun 2010. 4). Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Arena, Advokasia, Balipost, Majalah Sabili, buletin sastra Pawon Solo, Buletin Gerawasi. 5.) Naskah Teater (Para Pejalan lelah, Fatrah, Merah Putih Tak Bertuah, Laskar Bersarung, Ratapan lelaki Senja, Tuffah dan Delima Separuh). 6). Puisi “Santri Bengawan”, menjadi puisi terbaik pada lomba SMP (santri menulis puisi) tahun 2017.

Dari tahun 2000 sampai 2017, diberi kesempatan ikut dalam beberapa proses pertunjukan, di antaranya: 1). Pementasan “Petang di Taman” Karya Iwan Simatupang (T. Havara) di AULA SMAN I Gresik, tahun 2001. 2). Pementasan Teaterikalisasi Puisi “Isyarat Jibril” (T. ESKA) di AULA UIN Sunan Kalijaga, tahun 2003. 3). Pementasan “Yang Paling Tidak Sopan” (Sanggar Jepit) dipentaskan di 4 kota (Yogyakarta, Kudus, Pemalang dan Surabaya) tahun 2004. 4). Sutradara “Para Pejalan Lelah” (S. Jepit) tahun 2007 di CafĂ© PUB Yogyakarta. 5). Pementaskan Naskah “Tiang Debu” (Gresik Teater) di Gedung Cak Durasim pada acara KTI tahun 2010. 6). Penulis Naskah dan Sutradara “Merah Putih Tak Bertuah” (T. Paser)  dipentaskan di Lap. STAI Qomaruddin tahun 2011. 7). Pementasan Performance Art “Air Mata Tanah” (Gresik Teater) pada teater ruang publik Festival Seni Surabaya 2010   di Monkasel Surabaya. 8). Penulis Naskah dan Sutradara “Ratapan Lelaki Senja” dipentaskan di AULA IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2012. 9). Pembaca Puisi pada “Penyair Muda Baca Puisi” di Taman Budaya Yogyakarta tahun 2006. 10). Penulis Naskah dan Sutradara Drama kolosal “Laskar Bersarung”, produksi bersama MA Ihyaul Ulum dan KORAMIL Dukun tahun 2015, dipentaskan di lapangan Sambo Dukun Gresik. 11). Mementaskan monolog puisi “Mega Bukit” pada acara Sadu II Teater Akeq IAI Qomaruddin Bungah Gresik dan Terminal Budaya Lintas Jatim XI Teater Ndrinding SMAHITS Lowayu Dukun Gresik, tahun 2017.

Dalam beberapa tahun terakhir diberi amanat untuk menjadi pemateri Diklat di beberapa sekolah di kabupaten Gresik, diantaranya: T. Cepak (SMAN I Gresik), T. Pendopo (MAN Bungah), T. Havara (MA Assa’adah), T. Lampu (SMAN I Sidayu), T. SAQ (SMA Assa’adah), T. Sakalentang (SMA Al-Karimi Tebuwung) T. Pager MA Ihyaul Ulum Canga’an. Juga menjadi Juri di berbagai perlombaan, diantaranya: Pantomim TK tingkat kecamatan (Bungah dan Panceng), lomba teater di SMK NU Trate se Kab Gresik, Lomba Baca Puisi dan teater di MAN Bungah, Juri puisi Aksioma di desa Wotan sekecamatan Panceng. Kini bercita-cita membentuk komunitas dengan nama JANPOET (Jam’iyah Art ‘N Poetika), sekaligus pengen punya Langgar Baca. Semoga tercapai. Amin. No Kontak: 08563229239 E-mail : ulyadzirwa@gmail.com/sastradkg2017@gmail.com
http://sastra-indonesia.com/2019/08/risalah-tujuh-bukit/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog