Jumat, 13 September 2019

Sosiawan Leak Menolak Korupsi ! *

Nurel Javissyarqi **

Judul di atas dan senadanya merupakan harapan Leak, atau dalam hati kecilnya bersuara lantang : “Harusnya ada titel semacam itu!” Namun dia tidak menyangka, perihal tersebut turun dari jemari tangan seorang pengelana. PMK, adalah panggung Sosiawan Leak menolak korupsi!

Saya mengenalnya sebelum masa-masa Reformasi NKRI 1998, dan pertemuan dengannya di Taman Budaya Surakarta (TBS), entah pada tahun 1995, 96, 97, juga di tahun 2001, sewaktu saya hendak menggelar pentas musikalisasi puisi dipadu gamelan dan tari bersama Komunitas Lapen 151 Jogja, yang berlabel “Di Bukit Pasir Prahara” dari kitab antologi puisi “Balada-balada Takdir Terlalu Dini.”

Jelasnya, saya kerap mampir di TBS untuk istirah sejenak sambil menikmati sejuknya pendopo, dikala dalam perjalanan menaiki motor dari Lamongan menuju Jogjakarta, ketika mengambil jalur Bojonegoro-Padangan-Ngawi-Sragen. Berbeda jika melewati jalan nJombang-Madiun-Ponorogo-Wonogiri, mampir di rumah teman lama di Desa Ngelipar, Gunung Kidul. Perjalanan yang selalu menyenangkan mencipta rindu, dan sering mendapati Leak di T.B. Surakarta, sebagaimana layaknya penyair tulen alias ‘gelandangan.’

Saya kurang akrab dengannya, setidaknya belum pernah mengucapkan salam ‘Jancok’ untuknya. Tapi mungkin ada seutas tali lembut menghantarkannya inbox, saat awal kali memulai gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK), namun seirama lantunan lagu ndangdut “aku mundur alon-alon...” lantaran kurang sepakat dengan plakat besar yang diusungnya meski bagus, dengan alasan tidak mempunyai puisi baru. Setidaknya saya sadar posisi, dan kebetulan saat itu dalam pengelanaan kedua di Bumi Reog Ponorogo (2011-2014, yang pertama tahun 2001).
***

Leak tidak mungkin menggunakan istilah ‘Lawan’ atau “Puisi Melawan Korupsi,” sebab kata ‘Lawan’ sudah tersemat di tubuh-puisi terkenalnya Wiji Thukul. Di Jogjakarta waktu itu, saya kuliah di kampus dibawah naungan yayasan Sri Sultan Hamengkubuwono, Universitas Widya Mataram (UWMY). Salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta yang banyak melahirkan kaum pergerakan, giat memancing sekaligus mengobarkan demonstrasi ; di Perempatan Kantor Pos Malioboro, di Perempatan Kampus IAIN SuKa (UIN Sunan Kalijaga), di Bundaran UGM, dan penggagas festival kesenian tandingan daripada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) yakni FKR (Festival Kesenian Rakyat), yang perhelatannya berpusat di sekitar pasar Ngasem Ngayogyokarto.

Dan berita hilangnya Wiji Thukul, disaat-saat hari menjelang diundangnya dalam acara yang kami selenggarakan. Maka buyarlah kegiatan FKR di hari itu juga, dan semenjak beredar kabar peristiwa tersebut, saya bersama penyair Y. Wibowo beserta kawan-kawan lainnya tidak lagi tampak di permukaan. Lalu, sebagai buah tangan kesemangatan kala itu, terbitlah buku “Trilogi Kesadaran” (Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak) 2006, PUstaka puJAngga.
***

Di mulai tahun 2013, Leak bersama Heru Mugiarso mengajak para penyair lainnya untuk menaiki gerbong kereta PMK, hingga bulan Juli 2019 ini, roadshownya telah mencapai #55, bersamaan laku-nya menyentuh bencah tanah Wali di Gresik. Sepertinya, penyair Mardi Luhung tidak dilibatkan atau barangkali enggan seturut serta. Perjuangan Leak dan para penyair di beberapa kota di seluruh penjuru Indonesia dengan himpunan antologi-antologi puisi, mempertebal garis gerilyanya menolak bentuk-bentuk korupsi yang semakin tumbuh subur di Tanah Air tercinta, sebagaimana jamur pada umumnya di negeri sedang berkembang.
***

Dengan huruf besar ‘Menolak’ yang berulang-ulang diperkuat, memberinya ruang tersendiri dari kata ‘Lawan’-nya Wiji Thukul. Lalu, di mana batas Leak bersuara? Apakah cukup dikenang sebagai bagian daging segar sejarah sastra? Dengan berkelakar saya berkata : ‘Kalau ujung perlawanan Leak hanya dikabarkan ‘diciduk,’ maka riwayatnya kurang indah, akan lebih menarik suatu waktu ditembak seorang oknum, misalkan.
***

Di sudut berbeda, kegiatannya yang didukung bolo-bolo penyair seakan hendak menunda suara terompet senjakala susastra, dan almarhum W.S. Rendra seolah-olah merentangkan tangan dalam kuburnya, menyambut gema suara kata-kata puisi yang kian waktu melemah, jikalau perhelatan PMK di beberapa kota layaknya reunian, sedang di sisi jalan lain para koruptor merajalela. Di sini, teringat kata-kata yang pernah saya guratkan : “Negara yang masih memberikan nafas para koruptor, janganlah heran, kalau nantinya menjamur para koruptor yang lebih banyak lagi.”
***

Takdir seniman (penyair) melontarkan suara lain, jalan berbeda satu-satunya, atau jalanan sunyi sendirian di antara berlalunya karya-karya pesanan, kecuali ‘Keris Gandring.’ Ianya tetap duduk menyendiri di tanjung karang, atau di pinggiran jurang pahit letih kehidupan, dan ada yang selalu digembolnya kuat, pun berulang kali dibukanya lelembaran hayat, pula memertajam ujung pena, memeruncing panca indranya, sambil menginsyafi kefanahan perubahan musim di dunia. Ia tak duduk di atas menara gading sambil memantau riak-riak ombak, namun jadi debu-debu jalanan yang mencapai ketinggian apapun tanpa kelihatan, ditiup angin segar kembali memelajari kerahasiaan pribadi di antara membaca, ingat dan waspada sepenuh takdir yang melekat. Dan kemerdekaan butiran debu, menusuk bola-bola mata manusia yang dirasuki hantu-hantu serakah.
***

Apakah Roadshow PMK serupa mencipta api unggun di tengah-tengah malam, menampilkan wajah-wajah lantas hilang ditelan pagi, ataukah lingkaran-lingkaran kecil itu nantinya bersatu menjelma besar, guna menumbangkan raksasa korupsi bersama antek-anteknya? Atau malah membuyar sebelum waktunya, menjadi catatan ringan, mewujud beberapa buku, sementara wabah koropsi terus beranak-pinak. Lantas di mana ujung pena lebih tajam dari pedang? Karena tidak cukup busa gelombang merontokkan meski berulang-ulang. Barangkali, senjata rakitan bisa membungkam, yakni cara-cara tidak lazim, maka cobalah dipikirkan! Sebab, tidak cukup dengan kata ‘Menolak’ dan ‘Lawan,’ namun harus berkata : “Hancurkan!”
***

Saya membayangkan, komunikasi para penyair PMK di beberapa kota di seluruh Nusantara, nantinya tak sekadar berkarya sebagai gerilyawan kata-kata, tidaklah cuma memertajam makna barisan kalimat indah, tetapi paduan suaranya sanggup menjebol gendang telinga penguasa, meruntuhkan patung-patung kedholiman, menghancurkan tembok pembatas jalannya hukum alam. Hal itu bukan mustahil dilalui, namun sangat sulit terealisasi. Mungkin harus membuka jalur-jalur anyar, agar tak jatuh sesuara asing di seberang kenyataan, tidak menjadi kemewahan di tengah-tengah rakyat, tidak lantas duduk di kursi paling depan menjadi topik pembicaraan yang jauh dari cita-cita. Misalkan, muncullah istilah baru yang kian terasing, ‘Sosiawan Leak Presiden Penyair Anti Korupsi,’ ‘Leak, Sang Panglima Puisi Menolak Korupsi’ dst. Maka yang didapat semakin blunder seperti yang sudah-sudah, sejarah susastra ‘mendompleng’ sejarah besar Bangsa Indonesia, yang hanya sebagai pemanis gagah-gagahan, seperti keganjilan masa perang telah usai, dan Bung Tomo diundang di TIM membacakan puisinya (Tempo, 3 September 1977).
***

Selama panggung pergerakan penyair-penyair PMK dipandang tidak membahayakan atau tidak mengancam jiwa-jiwa koruptor, perihal itu mendekati sia-sia, meski sisi lain sikap putus asa ialah perbuatan dosa. Agar tidak ambruk harapannya, keniscayaan para seniman (penyair) di sini harus tetap ditegakkan, dikibarkan panji-panji keyakinannya, demi perjuangan selalu teringat dari tujuan awal. Karena yang dilalui sudah benar, lebih terangnya musuh tampak di depan mata, realitas korupsi makin menggurita, maka suara lantangnya para penyair sebagai kenyataan puitik, jauh penting lagi pertemuannya menjelma peristiwa makna puitika yang sesungguhnya, amin.
***

Alhamdulillah, roadshow PMK kali ini bertempat di Pesantren Pendopo Watu Bodo, Dusun Tegal Sari, Desa Pangkah Kulon, Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur. Saya teringat sembilan belas tahun lalu, tepatnya 2001, dari situlah saya mengawali titik niatan merevisi “Kitab Para Malaikat” (KPM) sebelum terbit, yang tertulis di Yogyakarta tahun 1998-1999. Dari Pesantren Watu Bodo ke Rembang, menuju Watucongol Muntilan Magelan, ke Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo dan seterusnya, hingga masanya bundelan itu rampung menyatu, yang dipengantari Kritikus Maman S. Mayahan tahun 2007, PuJa.

Jika Leak datang, maka akan tahu di mana letak salah satu bumi pertapaan di antara jiwa-jiwa pengelanaan ini berteduh, yang baru sekarang saya sebutkan, sebab di KPM sengaja tidak dicantumkan.
***
_____________
*) Pemantik dalam Roadshow “Puisi Menolak Korupsi” #55 di Gresik, 27 Juli 2019.
**) Pengelola website Sastra-Indonesia.com , salah satu buku kritik sastra karangannya “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia,” terbitan PuJa (PUstaka puJAngga) 2018.
http://sastra-indonesia.com/2019/07/sosiawan-leak-menolak-korupsi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog